Diskusi tentang ESG dan keberlanjutan sering berhenti di level kebijakan, standar, dan pelaporan. Namun, di lapangan, tantangan sesungguhnya justru muncul ketika strategi tersebut harus diterjemahkan menjadi keputusan investasi sosial dan pembiayaan berkelanjutan yang berdampak nyata—baik bagi masyarakat maupun bagi bisnis.
Untuk menjembatani dua dunia tersebut, kami mewawancarai Wahyu Aris Darmono, praktisi senior di bidang CSR dan investasi sosial, yang berbagi perspektif dari sisi korporasi—mulai dari cara merancang skema social investment, mengukur nilai dan dampaknya, hingga mengintegrasikannya ke dalam kerangka ESG dan pelaporan keberlanjutan. Sementara itu, Kiki Purbosari, Manajer Program Indonesia di Progreso Foundation, menghadirkan suara dari lapangan: realitas yang dihadapi petani kecil, tantangan akses dan pembiayaan, serta investasi berkelanjutan yang semestinya dirancang agar benar-benar inklusif dan berpihak pada mereka yang paling membutuhkan.
Investasi Sosial, ESG, dan Kualitas Keputusan
Narasumber: Wahyu Aris Darmono

Q: Apa faktor yang paling sering dilupakan perusahaan ketika merancang social investment?
A:
Faktor yang paling sering dilupakan adalah kurangnya pemahaman mendalam terhadap ekspektasi pemangku kepentingan. Perusahaan sering tidak memiliki informasi yang cukup detail untuk merancang program yang benar-benar relevan.
Akibatnya, meskipun program seperti Program Pengembangan Masyarakat (PPM) bersifat wajib, implementasinya sering dirasakan tidak efektif. Padahal, investasi sosial—seperti investasi lainnya—memerlukan perhitungan matang dan harus merespons kebutuhan nyata, misalnya akses air bersih atau penghidupan masyarakat.
Q: Bagaimana Social Return on Investment (SROI) dapat meningkatkan kualitas keputusan sosial perusahaan?
A:
SROI bukan sekadar hitung-hitungan di worksheet. Ia adalah kerangka kerja strategis yang dimulai dari Theory of Change, logical framework, pemetaan outcome, hingga identifikasi perubahan yang dialami pemangku kepentingan.
Nilai SROI yang dimonetisasi di akhir justru berfungsi sebagai alat refleksi. Dengan membandingkan SROI perencanaan (forecast) dan SROI evaluasi, perusahaan bisa menilai kualitas perencanaan dan implementasi. Nilai yang terlalu rendah atau terlalu tinggi sama-sama menjadi sinyal adanya masalah yang perlu diperbaiki.
Q: Indikator sosial apa yang paling relevan untuk sektor berisiko tinggi seperti energi dan pertambangan?
A:
Tidak ada indikator sosial yang benar-benar universal. Setiap sektor—bahkan antarjenis tambang—memiliki konteks yang berbeda.
Indikator outcome sebaiknya disepakati bersama pemangku kepentingan, berdasarkan perubahan yang ingin mereka lihat. Umumnya, indikator berkaitan dengan perubahan kesejahteraan atau penghidupan masyarakat terdampak, dan dapat merujuk pada panduan pemerintah untuk delapan bidang PPM seperti kesehatan dan pendidikan.
Q: Apa perubahan signifikan yang Anda amati dalam tren sustainability reporting?
A:
Jumlah perusahaan yang membuat Laporan Keberlanjutan meningkat signifikan, diperkirakan sudah mencapai sekitar 80%. Tantangannya kini bergeser ke kualitas.
Masih banyak perusahaan menggunakan pendekatan GRI “with reference” alih-alih “in accordance”. Perubahan positif biasanya terjadi ketika perusahaan mulai berhadapan dengan proses assurance pihak ketiga, terutama jika laporan tersebut digunakan untuk kepentingan investor. Pertanyaan krusialnya adalah: apakah penentuan topik material benar-benar mencerminkan realitas lapangan, atau sekadar berbasis data sekunder?
Q: Jika organisasi baru memulai perjalanan ESG, dari mana sebaiknya mereka memulai?
A:
Laporan Keberlanjutan. ESG hingga saat ini masih sangat bertumpu pada public disclosure.
Menyusun Laporan Keberlanjutan adalah latihan terbaik untuk memahami E, S, dan G secara komprehensif. Laporan ini merupakan bentuk pengungkapan ESG yang paling kokoh dan menjadi fondasi bagi perjalanan ESG selanjutnya.
Pembiayaan Berkelanjutan dan Realitas Petani Kecil
Narasumber: Kiki Purbosari

Q: Apa hambatan utama petani kecil dalam mengakses pembiayaan berkelanjutan?
A:
Hambatannya ada dua. Pertama, petani sering tidak dianggap bankable oleh lembaga keuangan. Skema penilaian perbankan tidak selalu sesuai dengan kondisi mereka, atau pembiayaan yang tersedia tidak sejalan dengan kebutuhan riil.
Kedua, literasi keuangan masih rendah. Tanpa pemahaman yang memadai, dana yang diterima berisiko digunakan secara konsumtif, bukan untuk pengelolaan kebun.
Q: Bagaimana memastikan program benar-benar meningkatkan pendapatan petani?
A:
Kuncinya adalah bekerja melalui organisasi produsen. Pembiayaan diberikan kepada organisasi agar mereka memiliki modal kerja untuk membeli produk petani, mengolahnya, dan menciptakan nilai tambah.
Dengan model ini, organisasi produsen dapat memberikan harga yang lebih adil, sekaligus memperkuat posisi tawar petani.
Q: Jenis modal keuangan apa yang paling efektif untuk petani kecil?
A:
Modal yang paling efektif adalah green financing, agroforestry financing, dan input financing. Dana ini digunakan untuk membeli input, pupuk, bibit, serta pengelolaan kebun.
Tujuan akhirnya adalah meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil, yang secara langsung berdampak pada peningkatan pendapatan.
Q: Apa peran sektor swasta dalam memperkuat rantai nilai pertanian?
A:
Peran utama sektor swasta adalah sebagai off-taker. Dengan memberikan kepastian pasar, sektor swasta membantu mengurangi risiko bagi petani dan organisasi produsen.
Selain itu, sektor swasta perlu mendorong kualitas melalui harga premium atau harga yang adil untuk produk yang lebih baik.
Q: Intervensi apa yang paling mendesak bagi petani kecil saat ini?
A:
Edukasi dan literasi keuangan. Selain itu, capacity building untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk juga sangat mendesak. Tanpa peningkatan kapasitas, pembiayaan berkelanjutan tidak akan efektif.
Di sini kita melihat adanya keterhubungan yang sering terputus dalam praktik ESG. Di satu sisi, perusahaan berbicara tentang strategi, indikator, dan pelaporan. Di sisi lain, masyarakat—termasuk petani kecil—berhadapan dengan persoalan akses, kapasitas, dan keberlanjutan penghidupan.
Investasi sosial dan pembiayaan berkelanjutan hanya akan bermakna jika dirancang berbasis pemahaman pemangku kepentingan, diukur dengan kerangka yang jujur, dan dilaporkan dengan integritas. Tanpa itu, ESG berisiko berhenti sebagai formalitas—baik di level program maupun laporan.
Di tengah meningkatnya tuntutan investor, regulator, dan publik, Laporan Keberlanjutan tidak lagi cukup menjadi dokumen kepatuhan. Ia harus berfungsi sebagai alat manajemen risiko, pengambilan keputusan, dan penguat kepercayaan jangka panjang—yang mencerminkan realitas lapangan, bukan sekadar niat baik.
Di sinilah Wordsmith Group berperan. Melalui Layanan ESG, Wordsmith Group mendampingi perusahaan menyusun Laporan Keberlanjutan, Laporan Tahunan, dan komunikasi ESG yang berangkat dari strategi, tata kelola, serta data dampak yang nyata. Pendekatan ini memastikan bahwa investasi sosial dan pembiayaan berkelanjutan tidak hanya terlihat baik, tetapi benar-benar bekerja—bagi bisnis dan masyarakat yang dilayaninya.
Jika Anda ingin ESG menjadi fondasi keputusan dan kepercayaan jangka panjang, bukan sekadar kewajiban administratif, percakapan itu layak dimulai sekarang. Hubungi kami lewat email atau WhatsApp untuk mendiskusikan kebutuhan dan tantangan ESG perusahaan Anda, serta merancang strategi keberlanjutan yang relevan, terukur, dan berdampak nyata.



