Ada satu pertanyaan yang terasa makin sering muncul di ruang rapat perusahaan, forum investor, hingga diskusi publik tentang ESG:
“Apakah Laporan Keberlanjutan kita benar-benar dipercaya?”
Pertanyaan ini tidak muncul karena perusahaan kekurangan program. Justru sebaliknya. Banyak organisasi telah menanam pohon, menjalankan program sosial, membentuk komite ESG, dan menerbitkan Laporan Tahunan yang tebal dan rapi. Namun, di Indonesia Sustainability & Impact Forum (ISIF) 2025, muncul kegelisahan bersama bahwa lonjakan aktivitas ESG belum sejalan dengan meningkatnya kepercayaan publik dan investor.
Masalahnya bukan pada niat, melainkan pada cara dampak sosial diukur, dijelaskan, dan dipertanggungjawabkan.
Ketika ESG Terjebak pada Aktivitas, Bukan Nilai

Dalam salah satu sesi pengukuran dampak sosial, Dr. Elvia R. Shauki (PPA FEB UI) menyampaikan sebuah pengamatan yang terasa sangat dekat dengan realitas korporasi. Banyak perusahaan, katanya, sudah sangat mahir mengukur kinerja ekonomi dan lingkungan, tetapi meninggalkan ruang kosong dalam pengukuran sosial.
Ruang kosong inilah yang ia sebut sebagai social caps—kesenjangan yang membuat laporan ESG tampak lengkap di atas kertas, tetapi rapuh saat diuji secara substansi.
Ia memberi contoh sederhana tetapi tajam. Sebuah kebijakan efisiensi atau restrukturisasi bisa saja meningkatkan profitabilitas perusahaan. Namun, bagaimana dampaknya terhadap pekerja yang kehilangan pekerjaan, terhadap keluarga mereka, terhadap komunitas yang selama ini bergantung pada aktivitas ekonomi tersebut? Dampak-dampak ini jarang dihitung, apalagi dikonversi menjadi nilai yang bisa dipahami pasar.
Di titik inilah banyak Laporan Keberlanjutan kehilangan daya yakinnya.
Era Baru: Ketika Dampak Sosial Menjadi Material

Diskusi di ISIF 2025 menegaskan bahwa lanskap ESG telah berubah secara fundamental. Double materiality bukan lagi istilah akademik, melainkan kerangka kerja yang mulai membentuk ekspektasi regulator dan investor.
Bersama Dr. Rini Suprihartanti (Social Value Indonesia), forum ini memperlihatkan pergeseran penting: perusahaan tidak lagi cukup melaporkan hal-hal yang mereka lakukan, tetapi harus mampu menjelaskan nilai sosial yang benar-benar tercipta—dan risiko sosial yang mungkin timbul dari keputusan bisnis.
Di sinilah pendekatan seperti Social Return on Investment (SROI) menjadi relevan. Bukan karena ia sempurna, melainkan karena ia memaksa perusahaan untuk berhenti berasumsi dan mulai menghitung. Untuk mengubah cerita dari “kami melakukan program” menjadi “inilah perubahan nyata yang terjadi, dan inilah nilainya”.
Pelajaran dari Alam: Alasan Lingkungan Gagal Tanpa Sosial dan Tata Kelola

Refleksi tentang pentingnya pilar sosial semakin menguat dalam sesi Nature-Based Solutions (NBS). Prof. Herry Purnomo (CIFOR-ICRAF) menyampaikan sesuatu yang sederhana, tetapi sering diabaikan: menanam pohon itu mudah; merawatnya selama bertahun-tahun adalah tantangan sebenarnya.
Di banyak kasus, kegagalan program lingkungan bukan disebabkan oleh kurangnya dana atau teknologi, melainkan oleh lemahnya keterlibatan sosial dan tata kelola lokal. Tanpa rasa kepemilikan komunitas, tanpa insentif yang adil, dan tanpa struktur tata kelola yang jelas, inisiatif lingkungan cepat kehilangan daya hidupnya.
Pandangan ini dipertegas oleh Silverius Oscar Unggul (Kementerian Kehutanan), yang menekankan pentingnya izin, pengakuan, dan tata kelola lahan di tingkat lokal. Ketiganya jarang dijelaskan secara mendalam dalam Laporan Keberlanjutan, padahal justru di sanalah kredibilitas ESG diuji.
Pesannya jelas: pilar E tidak bisa berdiri sendiri tanpa S dan G.
Dari Forum ke Ruang Rapat: Apa Artinya bagi Laporan Keberlanjutan Anda?
ISIF 2025 meninggalkan satu kesimpulan penting: Laporan Keberlanjutan adalah instrumen kepercayaan. Ia bukan sekadar alat kepatuhan, melainkan cara perusahaan menjelaskan posisinya di hadapan masyarakat, regulator, dan pasar modal.
Perusahaan yang akan dipercaya ke depan adalah mereka yang berani:
- mengakui kompleksitas dampak sosial,
- mengukur nilai secara lebih jujur,
- dan menyajikannya dalam narasi yang utuh, bukan defensif.
Tanpa itu, program ESG—sebaik apa pun di lapangan—akan sulit dibedakan dari pencitraan.
Peran Wordsmith Group: Menerjemahkan Dampak Menjadi Kepercayaan
Di sinilah Wordsmith Group memosisikan diri. Kami memahami bahwa tantangan ESG hari ini bukan semata soal data, melainkan cara data tersebut diubah menjadi narasi yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kami bekerja bersama perusahaan untuk:
- mengurai dampak sosial yang sering tersembunyi di balik angka,
- menyusun kerangka SROI dan theory of change yang masuk akal,
- serta menerjemahkannya ke dalam laporan keberlanjutan yang selaras dengan standar global dan realitas lokal Indonesia.
Bagi kami, laporan keberlanjutan yang baik bukan yang paling tebal, melainkan yang paling jujur dan paling dipercaya.
Saatnya ESG Berbicara Lebih Dalam
Jika ESG Anda masih berhenti pada aktivitas dan output, maka risikonya tidak hanya kritik publik, tetapi hilangnya kepercayaan pasar. Di era double materiality, nilai sosial yang tidak diukur adalah risiko yang tidak terlihat—hingga terlambat.
Wordsmith Group siap berdiskusi untuk memastikan laporan keberlanjutan Anda mampu berbicara tentang nilai, bukan sekadar kepatuhan.
Hubungi kami melalui email atau WhatsApp untuk memulai percakapan strategis.



