Kesuksesan sebuah film memiliki andil yang penting dari seorang sutradara, produser, aktor, hingga penulis naskah. Namun seorang penulis subtitle juga akan menentukan kesuksesan sebuah film jika ditayangkan di luar negeri (go international).
Subtitle layaknya sebuah jembatan untuk menghubungkan komunikasi ke penonton agar memahami dialog dari sebuah film. Tentunya, kita sudah tidak asing lagi dengan subtitle jika sudah terbiasa menonton film asing.
Bisa kita lihat betapa suksesnya film Parasite dari Korea Selatan hingga mampu memenangkan berbagai penghargaan di Oscars. Film tersebut dapat disaksikan di berbagai negara berkat adanya subtitle ke dalam beberapa bahasa di dunia.
Lalu apa saja peran subtitle untuk industri film Indonesia?
Wordsmith Group mengadakan webinar dengan para pembicara yang ahli di bidangnya. Yang pertama ada sutradara film Laskar Pelangi (2008) dan Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016), yakni Riri Riza. Lalu Sheila Timothy sebagai produser film Pintu Terlarang (2009) dan Wiro Sableng (2018) dan terakhir ada Ika Wulandari mewakili penulis dan penerjemah subtitle.
Riri Riza
Menurut Riri Riza, film adalah medium visual tetapi pada saat yang sama memungkinan untuk berkomunikasi dengan medium audio. Jika membicarakan soal subtitle berarti sama saja dengan membicarakan dialog film. Segala aspek dalam film itu penting dan harus ada makna kehadirannya.
Aspek-aspek tersebut meliputi diksi yang artinya pilihan kata untuk kejelasan makna dan aspek puitis. Lalu yang kedua ada karakterisasi atau penokohan, artinya terdapat latar belakang tersendiri yang akhirnya menciptakan karakter dari seorang tokoh. Hal inilah yang membentuk gaya bahasa dengan ciri khasnya masing-masing.
Etnografis Indonesia juga memiliki andil, karena tiap daerah di negeri ini mempunyai dialek yang berbeda. Film Indonesia pun sudah banyak yang menggunakan dialek dan bahasa daerah. Lain halnya dengan dialog yang digunakan dalam film Ada Apa Dengan Cinta yang memakai bahasa gaul anak muda pada zamannya.
Dari tiga aspek tadi, Riri Riza memberikan contoh filmnya yang memiliki keseluruhan aspek tersebut, yaitu Gie (2005). Film ini pun diterjemahkan subtitle-nya oleh John McGlynn ke bahasa Inggris. Ia pun mampu menerjemahkan setiap dialog bahkan puisi tanpa kehilangan makna atau maksud sesungguhnya yang ingin disampaikan.
Selain itu, film Riri Riza yang berjudul 3 Hari Untuk Selamanya juga pernah diterjemahkan oleh Tony Rayns. Ia memberikan tips dalam membuat subtitle film, yaitu jangan pernah memberikan titik dalam terjemahan dialog. Di dunia internasional orang akan berpikir ini adalah dialog yang saling sambung-menyambung.
Lebih lagi, Riri Riza mengatakan penerjemah seperti John McGlynn dan Tony Rayns adalah orang-orang yang punya karakteristik atau penguasaan bahasa tertentu yang pasti akan berkontribusi pada pekerjaan subtitle-nya. Ia juga menyimpulkan kalau saat ini setiap film membutuhkan English subtitle karena banyaknya minat penonton dari berbagai negara.
Sheila Timothy
Sheila Timothy membedakan antara jenis subtitle dengan closed caption. Subtitle adalah terjemahan dari dialog yang ada di film ke dalam satu bahasa. Sementara close caption itu lebih ke subtitling dari bahasa asal yang diucapkan oleh karakter dalam film, termasuk penjelasan tentang suara, bunyi, dan jenis musik. Closed caption berguna untuk penyandang tuna rungu saat menonton film.
Ada beberapa pendekatan adaptasi bahasa ke dalam audio-visual, yang pertama subtitling berupa bentuk tulisan. Lalu ada lip-sync atau dubbing, contohnya telenovela yang berbahasa asli Spanyol lalu diisi suara menjadi bahasa Indonesia. Terakhir ada juga voice over.
Sebuah teori menyebutkan bahwa biasanya seseorang dapat membaca sekitar 15-17 karakter dalam waktu satu detik. Panjang subtitle dibatasi sebanyak 37-42 karakter dalam satu baris. Untuk foreign film biasanya dibatasi seperti teori itu hanya dua baris.
Dengan adanya subtitling, kita mempunyai reach yang semakin besar. Kita juga mempunyai potensi distribusi baik itu secara komersial maupun secara aklamasi lewat-lewat festival dan lain sebagainya. Tak hanya itu, sebuah film berkesempatan untuk bisa ditonton dan diputar di negara lain yang tidak menggunakan bahasa Indonesia. Subtitling jelas lebih murah dibandingkan dengan dubbing, sehingga bisa menekan biaya dan waktu produksi.
Tantangan dalam penerjemahan subtitle adalah perbedaan budaya, idiom, komedi, dan sarkasme dalam suatu negara yang pastinya berbeda satu sama lain. Terdapat juga kata-kata yang tidak dapat diterjemahkan seperti JJapaguri.
Saat ini kita tidak lagi terbatas oleh bahasa. Dengan adanya digital partner yang semakin besar dan kebutuhan akan film-film lokal dan internasional, bahasa bukan lagi jadi penghalang. Hal ini berguna untuk para filmmaker memiliki market yang lebih besar dalam arti bahwa kita bisa membuat apa pun sesuai keinginan.
Ika Wulandari
Pada awalnya sebuah film diciptakan bisu atau tanpa suara di tahun 1906. Lalu 21 tahun kemudian, subtitle pertama kali muncul dalam film di tahun 1927. Namun, baru sekitar tahun 1990 subtitle mendapatkan perhatian dari akademisi linguistik. Jadi selama hampir 100 tahun, subtitle itu dianggap kurang memenuhi syarat penerjemahan yang baik secara linguistik karena ada batasan waktu yang ada di medium film.
“For years, the activity of translating audiovisual programmes was perceived by many academics as falling short of translation proper because of all the spatial and temporal limitations imposed by the medium itself which in turn constrain the end result,” demikian kata Jorge Diaz Cintas & Aline Ramael
Sebagai seorang filmmaker, Ika Wulandari sering menemukan kejanggalan hasil penerjemahan subtitle. Yang pertama, subtitle selalu dianggap sebagai terjemahan dari apa adanya transkrip dialog. Contohnya kata “Salemba” yang memiliki arti sebenarnya sebagai “rutan atau rumah tahanan”.
Lalu yang kedua, adanya pemikiran ketika subtitle jauh berbeda dari dialog asli berarti itu adalah kesalahan. Padahal, dalam setiap negara memiliki konsep budayanya masing-masing. Contohnya basa-basi seorang ibu yang menanyakan anaknya sudah pulang padahal secara fisik sudah ada di rumah.
Hal lainnya adalah layout, panjang subtitle, dan durasi dianggap tidak penting. Padahal ada aturan seberapa panjang karakter dan durasi yang bisa dibaca manusia dalam satu scene. Dalam membuat closed captions untuk penonton yang tuna rungu juga membutuhkan sensitivitas hal-hal yang perlu ditulis atau tidak.
“Good subtitles or captions involve good rewriting; strong decision making skills, understanding, common sense and human thinking, as well as strong empathy with the audience.” – Ika Wulandari
Kemudian, Ika Wulandari juga menyebutkan beberapa tantangan dalam subtitling dan captioning, yaitu:
1. Ruang, waktu, dan kecepatan membaca.
Kompleksitas pertukaran dialog antarkarakter akan selalu dibatasi oleh ketiga elemen tersebut.
2. Pemahaman, Sinkronisasi, dan Koherensi.
Makna disampaikan tidak hanya melalui dialog pertukaran antarkarakter tetapi juga melalui gambar, gerak tubuh, intonasi, gerakan kamera, musik, spesial efek, dan lain-lain.
3. Media ini masih relatif diabaikan oleh banyak orang.
Tidak banyak yang diketahui orang tentang proses subtitle, orang-orang yang terlibat atau nilai yang mereka bawa ke hasil akhir.
Sejauh ini belum banyak orang yang cukup aware dengan pentingnya sebuah subtitle. Riri, Sheila, dan Ika mengulasnya secara lebih mendalam di video berikut.
Jadi, kesimpulan yang bisa kita ambil dari para pembicara di atas adalah peran subtitle dalam sebuah film juga mempunyai andil besar. Film-film buatan Indonesia pun akan lebih banyak ditonton di berbagai negara dengan subtitle bahasanya masing-masing. Hal tersebut dapat memperluas dan memperkaya industri perfilman Indonesia. Subtitle yang baik bisa dilihat dari kesesuaiannya dengan dialog sebuah film.
Layanan Terjemahan Subtitle Wordsmith Group
Wordsmith Group translation company menyediakan layanan penerjemahan subtitle untuk film atau video Anda oleh tim yang berpengalaman sejak tahun 2011. Email kami info@wordsmithgroup untuk inquiry Anda.