Oleh Setyo Budiantoro (Manajer Pilar Pembangunan Ekonomi, Sekretariat Nasional SDGs, Kementerian PPN/BAPPENAS, Tenaga Ahli/Konsultan ESG Wordsmith Group)
Sektor keuangan global saat ini berada pada titik balik yang menentukan seiring terjadinya pergeseran paradigma yang signifikan. Bukan hanya revolusi dalam teknologi finansial (fintech), melainkan juga transformasi keuangan komersial yang berorientasi utama pada profit menuju ke keuangan berkelanjutan dan keuangan berdampak. Perubahan ini, yang lebih luas dan terukur, secara langsung merespons tantangan global yang kompleks—terutama efek sangat merusak pandemi yang telah merobohkan kemajuan pembangunan bertahun-tahun, meningkatkan angka kemiskinan, dan menyebabkan kehilangan pekerjaan bagi jutaan orang.
Krisis ini memicu kebutuhan pembiayaan skala besar. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mengungkapkan bahwa untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), diperlukan dana US$2,5 triliun per tahun, yang meningkat drastis menjadi US$4,2 triliun pascapandemi. Di Indonesia, kebutuhan pencapaian SDGs sebelum pandemi hingga tahun 2030 adalah Rp67 ribu triliun, yang kini meningkat hampir 70 persen menjadi Rp122 ribu triliun pascapandemi, dengan gap pembiayaan mencapai Rp24 ribu triliun.
Dengan total aset yang dikelola oleh perbankan, investor institusi, dan manajer aset mencapai US$379 triliun, potensi keuangan global lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan SDGs. Alokasi hanya 1,1 persen dari aset keuangan global sudah dapat memenuhi kebutuhan pendanaan tahunan sebesar US$4,2 triliun.
Perubahan dalam lanskap keuangan global ini melampaui batas green financing tradisional. Sekarang, fokusnya adalah pada keuangan berkelanjutan yang mencakup aspek sosial-ekonomi dengan tata kelola yang efisien. Terminologi keberlanjutan, yang awalnya berfokus pada lingkungan, kini mencakup keseimbangan antara faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pendekatan ini mengakui pentingnya lingkungan yang sehat dalam konteks memenuhi kebutuhan manusia; mengubah paradigma konservasi alam menjadi pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dengan melibatkan manusia sebagai pelaku aktif.
Sebagai negara pelopor, Indonesia telah mengintegrasikan aspek keuangan dalam paradigma keberlanjutan dengan menerbitkan SDGs Bond pertama di Asia dan meraih predikat sebagai Best Bond 2021. Kerangka kerja penerbitan obligasi SDGs ini tidak hanya memastikan pencapaian tujuan sosial-ekonomi tanpa merugikan lingkungan, tetapi juga sebaliknya. Kerangka kerja ini menjadi dasar bagi penerbitan SDGs sukuk, green bond/sukuk, dan blue bond/sukuk, serta dapat diadaptasi untuk obligasi tematik lainnya seperti gender bond, water bond, circular economy bond, sustainable agriculture bond, dan renewable energy bond, yang selaras dengan SDGs.
Tata kelola dari kerangka kerja ini memastikan bahwa tiap bond atau sukuk yang diterbitkan tidak hanya memenuhi kriteria kelayakan, tetapi juga berkontribusi terhadap pencapaian indikator SDGs. Dengan pelaporan dampak yang diulas oleh lembaga independen, kerangka kerja ini menjamin akuntabilitas dan transparansi.
Di tingkat domestik, Indonesia telah membangun fondasi keuangan berkelanjutan yang kuat dan bahkan termasuk paling maju di antara negara emerging economy, seperti yang tecermin dalam laporan Sustainable Banking and Finance Network (SBFN). Upaya ini didukung oleh inisiatif Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang telah menerbitkan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan sejak 2015 dan mengembangkan taksonomi hijau yang berencana untuk menjadi taksonomi berkelanjutan.
Selain itu, Indonesia telah mengembangkan strategi pendanaan yang inovatif melalui Integrated National Financing Framework (INFF), yang menciptakan koherensi antara perencanaan dan strategi pendanaan untuk SDGs. Tujuan dari strategi ini adalah mengintegrasikan kebijakan dan menjadi pendekatan tata kelola serta instrumen pendanaan dari pemerintah dan swasta. Indonesia juga telah menjadi pelopor dalam pendanaan inovatif, termasuk melalui peluncuran Green Sukuk pertama dan pengembangan pendanaan berbasis keagamaan (Islamic financing), pendanaan campuran, dan investasi yang berdampak sosial.
Pendanaan dari pihak nonpemerintah juga harus diperkuat dan diselaraskan dengan target pembangunan berkelanjutan. Kapasitas pendanaan dari sumber pemerintah dan nonpemerintah dioptimalkan melalui berbagai skema pendanaan inovatif, sesuai mandat dalam Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2022 tentang SDGs. Regulasi ini diharapkan dapat membimbing sektor keuangan untuk berinvestasi dalam proyek-proyek berdampak dan menggunakan inovasi keuangan seperti blended financing.
Perubahan mendasar dalam paradigma keuangan komersial ini menandai dimulainya standar baru dalam sektor keuangan serta membawa kita menuju era yang lebih adil dan berkelanjutan. Transformasi ini menegaskan kembali komitmen untuk mencapai keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam skala global.
Artikel ini pernah dimuat di Tempo.