Wordsmith Group baru saja menggelar webinar dengan tema “Indonesia Bercerita: Sastra Indonesia di Kancah Dunia”. Ada dua narasumber yang kami undang, yakni Lily Yulianti Farid, founder Makassar International Writers Festival dan Pamela Allen, penerjemah novel Indonesia yang tinggal di Australia. Kami pun mendapatkan banyak informasi yang mendalam serta insightful. Berikut paparan selengkapnya.
Apa update terbaru dari Makassar International Writer Festival dari Bu Lily?
Update terakhir kita baru saja mengadakan edisi MIWS yang ke-11 dengan metode Hybrid. Jadi, Hybrid itu dilakukan bulan Juni tahun ini. Tahun 2021 sepenuhnya online atau daring karena Covid-19. Tahun 2020 saat kita mendapat penghargaan di London book fair sama sekali tidak ada, karena festival ini diadakan setiap pertengahan tahun dan waktu itu kebanyakan kita khawatir terhadap pandemi.
Mulai akhir Februari tahun 2020, WHO mengumumkan bahwa ini adalah pandemi yang berskala global sekitar Maret. London Book Fair juga dibatalkan karena pengumuman WHO dan kita dengan percaya diri bilang “Oh, mungkin ini pandeminya 14 hari aja ya”.
Ternyata sampai hari ini juga masih berlangsung. Itulah yang membuat kita mengambil keputusan untuk ditiadakan, karena juga banyak teman, volunteer, dan tim kerja yang tinggal di kota harus pulang ke desa atau kabupaten supaya lebih aman dan dekat dengan keluarga. Dari pandemi, kita sebenarnya banyak belajar bahwa yang dulunya kita tidak terpikir jika kita mengundang penulis internasional mahal sekali. Terutama untuk pergi ke Makassar, ternyata bisa lho hanya dengan lewat Zoom.
Apa saja kendala yang dihadapi saat persiapan acara?
Jika kita berbicara tentang sebuah festival yang diadakan di luar Jawa, yang mana infrastruktur tidak sebagus di kota-kota besar di Jawa dan di Bali. Misalnya, kita support satu festival di Luwuk Banggai di Sulawesi yang merupakan sister festival kita. Teman yang mendukung atau membantu jalannya festival di sana melaporkan, bahwa mati lampu jadi acara online-nya batal begitu saja.
Nah, itulah yang terjadi di Indonesia Timur. Jadi di tengah semangat kita untuk mengadakan kegiatan seperti festival penulis, kita masih dihadapkan oleh persoalan-persoalan yang sangat dasar. Misalnya, apakah listrik di sana akan menyala lagi atau tidak selama acara berlangsung dan seterusnya.
Kita yang ada di Makassar selalu mendapat laporan bahwa ini tidak bisa lewat Zoom. Jika yang di Papua kemarin, ketika kami mengadakan acara sepenuhnya online pada tahun 2021. Memang, narasumber harus berangkat dari desa tempat dia tinggal. Desa mati di Papua itu jauh sekali, jadi narasumber harus berangkat dari kecamatan terdekat yang terdapat internet. Jadi, butuh dua malam untuk mencari kendaraan agar dapat menumpang.
Lalu, bagaimana cara Ibu mengatasinya?
Jadi waktu kami mengundang teman penulis yang juga kebetulan adalah guru untuk meluncurkan bukunya dan pembahasan tentang proses kreatifnya, kami harus menelepon melalui international call, lalu ke profile Zoom saya.
Kemudian saya ganti dengan foto dia dan handphone speaker saya lalu didekatkan ke microphones laptop. Hal ini dilakukan agar acara terus berjalan dan begitulah proses menghadirkan beliau sebagai penulis dari Papua untuk webinar. Ini yang kemudian memberi banyak sekali pelajaran soal akses yang belum merata.
“…Pelajaran terbesarnya adalah kita jangan ikut ke dalam rombongan yang mengomel saja dan mengeluh begitu, tapi kita harus berpikir kreatif dengan mencari solusinya. “
Maka dari itu, jika teman-teman melihat dari rekap yang sebelumnya, terlihat sekali bahwa inklusivitas itu menjadi salah satu syarat yang membuka akses seluas mungkin bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah. Mengikuti festival penulis yang kami lakukan setiap tahun menjadi KPI (Key performance Indicator) bagi kami.
Apa yang sebenarnya yang memantik Ibu untuk menyelenggarakan festival penulis internasional di Makassar?
Ada di satu statement saya, bahwa kita ingin menjadi bagian dari solusi untuk membuka kesempatan seluas-luasnya. Saya melihat banyak sekali anak-anak dan remaja yang punya pengalaman membaca buku berkualitas saja tidak ada.
Hal ini yang kemudian menjadi salah satu pemantik. Karena, kita memang berhadapan langsung dengan Indonesia sebagai negara yang memang tingkat minat bacanya itu nomor dua paling rendah di dunia menurut PBB. Bukan soal kemalasan membaca, tetapi tidak adanya akses.
Tadi Ibu sempat menyebut juga ada banyak festival lain dan memang pada saat MIWF digelar, sudah ada festival sastra yang lain. Nah, sebenarnya apa diferensiasi antara MIWF dengan festival lain?
Kalau MIWF memang sudah jelas dari awal ingin membawa pengalaman sastra dan literasi baca tulis untuk masyarakat lokal Makassar dan Indonesia timur. Juga, untuk menerjemahkan statement itu semua kegiatan kami itu gratis. Indonesia ini termasuk negara yang jumlah festival sastra dan festival penulisnya sudah cukup establish, yang mapan dan diminati orang banyak itu masih sedikit.
Statement kita yang pertama adalah kita ingin membuka kesempatan merasakan peristiwa saat mengakses pengetahuan dan ikut terlibat dalam reproduksi pengetahuan melalui percakapan penting. Big ideas yang dibicarakan orang di Jakarta, Bandung, Bali, dan Jogja bisa juga dibicarakan di Makassar karena kita tidak bisa mengharapkan orang harus ke Jakarta semua untuk terlibat dalam percakapan-percakapan penting yang mencerahkan dan membuka wawasan.
Pembicaraannya kita semakin menarik, tapi kita akan ke Bu Pamela terlebih dahulu. Bagaimana sebenarnya awal Bu Pamela memiliki kecintaan terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia?
Belajar Bahasa Indonesia di Australia pada tahun 1970-an, kami diperkenalkan dengan sastra Indonesia. Memori belajar Bahasa Indonesia adalah “Cerita dari Blora”. Kami juga diperkenalkan kepada Chairil Anwar, Idrus, dan lain-lain, sehingga minat terhadap sastra datang seiring dengan minat belajar Bahasa Indonesia.
Nah, kalau saya boleh tahu sampai saat ini sudah berapa novel pendek atau karya sastra Indonesia yang sudah Ibu terjemahkan?
Sebetulnya ada tiga karena saya juga menerjemahkan novel Ayu (Utami), yaitu Cerita Cinta Enrico. Tapi saya lebih banyak menerjemahkan cerpen, jadi ada cukup banyak antologi cerpen. Banyak sekali yang diterjemahkan oleh penulis wanita. Kumpulan pertama yang saya terjemahkan itu pada awal tahun 90-an. Sejak itu, awal dekade 90-an saya mulai menerjemahkan untuk Lontar dan khususnya untuk mereka punya banyak antologi yang berisi baik cerpen maupun puisi dengan tema tertentu.
Bu Pamela sendiri adalah Australian, tentunya memiliki kultur berbeda dengan Indonesia. Bagaimana Ibu melihat perbedaan kultur ini sebagai tantangan ketika menerjemahkan novel ataupun cerpen?
Ada seorang sarjana penerjemahan bernama Lawrence Venuti dan ia membedakan apa yang dia sebut foreignization atau domestication. Jadi kalau kita menerjemahkan sesuatu ke dalam bahasa lain, kita harus menilik apakah kita akan menyimpan aspek atau bagian yang mungkin terdengar asing pada pembaca. Menurut Lawrence Venuti itu wajib, kita tidak boleh menghapus unsur-unsur budaya, lokal, atau politik dari terjemahan kita.
Ada pihak lain yang menyatakan jika sesuatu tidak menjadi bagian dari pengalaman pembaca harus disesuaikan atau dihapuskan agar lebih mudah dibaca. Kalau saya, hal itu dijadikan semacam spektrumnya, saya mungkin berada di tengah.
Saya banyak menggunakan sastra Indonesia untuk berdiskusi dengan mahasiswa saya tentang Indonesia, sosio-politik, sejarahnya, tanahnya, ataupun budayanya. Walaupun ada begitu banyak budaya Indonesia. Tapi, untuk saya adalah penting menyimpan bagian-bagian yang mungkin agak aneh atau berbeda untuk mendorong kita pergi ke Wikipedia untuk mencari informasi lebih banyak.
Bagaimana Ibu menerjemahkan sekaligus menjaga karakter dan karakteristik karya sastra Indonesia agar pesannya tidak menyimpang? Apa saja ‘pengorbanan’ agar pesannya tetap sama? Kemudian bagaimana nuansa dalam bahasa Inggris-nya itu juga tetap sama dengan bahasa aslinya?
Ya, pada dasarnya nuansa tidak bisa persis sama, itu mustahil. Karena, kadang-kadang seperti mencoba menerjemahkan musik yang tidak hanya kata-katanya, arti literal-nya. Tetapi juga intonasinya, nadanya, juga white space yang tidak bisa diterjemahkan.
Saya selalu bilang kepada mahasiswa saya kalau ini bahasa Inggris atau bahasa asing lain, kita tidak pernah bisa menerjemahkan persis sama, pasti selalu ada perbedaan. Yang berbeda itu budaya, budaya yang inheren dalam setiap bahasa dan kadang tidak bisa diterjemahkan. Jadi, kita benar-benar serius dalam mencoba untuk menyimpan nuansa, nada, dan musik dari teks aslinya. Kita tidak pernah bisa samakan, karena itu terdapat dalam semua karakteristik bahasa.
Bagaimana Ibu melihat karya sastra Indonesia ini punya peluang lebih besar daripada yang dari kondisi sekarang ini untuk bisa lebih diterima di kalangan internasional?
Mungkin ada pendengar yang tahu, bahwa saya pernah dikritik. Ini untuk menjelaskan bahwa sastra dan proses penerjemahannya tidak pernah bebas dari politik. Saya mengutip, “perantara boleh, yang terus menekankan kepercayaan usang bahwa barat adalah yang terbaik, dan yang mendorong para penulis untuk menginginkan pengakuan internasional dengan mengorbankan keaslian mereka”.
Walaupun pada awal saya harus mengakui bahwa saya bukan orang Indonesia, saya orang Australia yang tidak pernah bisa menjadi orang Indonesia. Jadi saya dikritik dengan dengan kritik sastra dari barat yang lain, saya dikritik menjadi semacam guide. Orang yang menentukan apa yang baik dan apa yang tidak baik dari sastra Indonesia.
Jadi walaupun saya punya pendapat pribadi, saya sekarang agak hati-hati mengucapkan pendapat, karena sadar saya seorang outsider dalam proses ini. Seperti saya bilang tadi, saya sering menggunakan sastra Indonesia untuk mengajar mahasiswa saya tentang Indonesia. Karena menurut pendapat saya, sastra Indonesia bisa menyatakan kebenaran dengan lebih akurat daripada jurnalisme. Karena, sastra Indonesia pada umumnya berasal dari kenyataan sosio-politik di Indonesia.
Ibu sudah mengikuti sastra Indonesia sejak era Reformasi sampai sekarang. Apa catatan Ibu sebagai penerjemah mengenai perkembangan sastra Indonesia sejak dari masa reformasi sampai sekarang?
Mungkin saya bisa menyebutkan dua aspek, yaitu jumlah penulis muda. Seperti yang Bu Lily katakan setiap tahun saya terlibat di Ubud Writer Festival di Bali dan setiap tahun ada program untuk emerging writers untuk penulis-penulis yang baru.
Saya selalu heran, nomor satunya pada jumlah orang yang melamar pada program itu lebih dari 1000 biasanya. Nomor dua, saya sangat heran dengan kreativitas pada penulis-penulis muda itu. Banyak sekali menggunakan sejarah Indonesia atau mitologi Indonesia sebagai latar belakang tulisannya.
Jadi itu masih merupakan suatu sifat sastra Indonesia bahwa sejarah, mitologi, dan sosial-politik Indonesia penting sekali untuk dimasukkan ke dalam tulisan mereka. Saya pun terheran, walaupun penulis muda ini tampil di Bali, tulisan mereka masih tidak bisa diakses oleh orang di luar Indonesia yang tidak berbahasa Indonesia jika tidak diterjemahkan. Jadi, menerjemahkan itu menjadi sesuatu yang dicita-citakan oleh penulis muda itu.
Nomor dua, ada bukti bahwa sastra Indonesia semakin lama semakin diakui di luar Indonesia dalam terjemahan. Saya menyebut beberapa contoh, misalnya organisasi World Literature Today dan setiap tahun mereka menerbitkan daftar 75 notable translation. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini, ada orang Indonesia yang tampil pada daftar tersebut, dan itu adalah hal yang bagus sekali.
Penulis-penulis Indonesia yang termasuk, contohnya Putu Oka Sukanta, Afrizal Malna, Leila Chudori, Eka Kurniawan, dan Intan Paramaditha. Tiffany Tsao juga baru menerbitkan terjemahan Budi Darma “People from Bloomington”, dengan Penguin Classic. Jadi, ada bukti bahwa lambat laun sastra Indonesia dalam terjemahan mulai dikenal dalam panggung dunia.
Dengan tim yang berpengalaman sejak tahun 2011, Wordsmith Group translation company menawarkan berbagai jasa penulisan untuk jenis manuskrip, naskah, laporan, atau content. Hubungi kami dengan inquiry Anda.